Durian Termahal Ada di Pontianak


Waspadalah isi dompet seketika lenyap ketika membeli buah-buahan musiman. Tak bermaksud mengomentari si penjual dan pembeli durian, namun ini menarik untuk menjadi pembelajaran. Pagi ini saya dikejutkan dengan kiriman screenshot di atas di salah satu grup media sosial yang terkenal di Pontianak. Padahal beberapa hari yang lalu tepatnya 15 November 2016 saya hampir mengalami kejadian tersebut. Untungnya saya menanyakan terlebih dahulu harga durian yang dijual si Abang A. Sebut saja A karena tak tahu nama pastinya. 

Saya : "Berape harge durian yang kecil tu Bang?
A : 70 ribu dek.
Saya : Yang paling murah berape?
A : itulah dah dikasi murah. 

Mendengar itu tanpa berpikir lama karena tak kuasa melihat wajah si A saya melanjutkan perjalanan dan batal membeli buah durian. Waktu itu hanya ada 2 lapak PKL yang menjual durian di sepanjang Jalan Teuku Umar. Setelah sebelumnya saya menanyakan pada lapak pertama dengan harga Rp 25.000/buah dengan ukuran sama dengan si A jual namun harus membeli 4. 

Saya pikir karena saat ini belum masuk musim puncak buah durian maka dari itu pedagang durian menjual dengan harga yang mahal bagi saya. Harga ditentukan berdasarkan siapa yang membeli, kenal atau tidak, menggunakan kendaraan apa pembeli datang, sudah sampai target atau belum keuntungan harian, dan berapa banyak lagi yang belum terjual. Tidak ada standar yang sama antar pedagang, semuanya semau si pedagang. Sebenarnya ini tidak hanya terjadi pada pedagang buah durian, buah lainpun akan mahal ketika yang menjualnya masih sedikit. Jauh berbeda ketika banjir buah, bahkan Rp 5.000/buah durian juga ada.


Jadi pelajaran berharganya bagi yang mau membeli alangkah lebih baik menanyakan dahulu harga barang yang akan dibeli, jika tidak sesuai tinggalkan untuk cari yang lain. Daripada terjadi seperti kasus di atas. Tinggalkan gengsi untuk menanyakan harga ketika berbelanja, karena ini demi kebaikan si isi dompet. Seperti kata yang sudah tak asing lagi "Jangan beli kucing dalam karung, ada rupa ada harga". 

Semoga pedagang disadarkan oleh Allah SWT.

SENDIRIAN, KEMALAMAN, UNTUNG TAK BERALAS KORAN (2)


Terlambat melanjutkan jalan cerita karena kesibukan nguli atau kerja. Perjalanan berlanjut menuju penyeberangan Sungai Sambas cabang Sekura di Tanjung Ketat - Teluk Keramat. Di penyeberangan ada dua rute pilihan yaitu menuju Paloh dan Sekura. Walaupun ingin ke Paloh namun menyeberang ke rute Sekura sama saja, ada jalan penghubung yang mempersatukan. Waktu itu karena sudah malam penyeberangan rute Paloh sudah tutup, mungkin mereka lelah jika harus kerja hingga malam. Si orang dalam cerita ya siapa lagi kalau bukan saya sendiri. Menyeberanglah saya dengan kapal bangkong, sebuah kapal tradisional untuk mengangkut benda hidup misalnya orang dan benda mati seperti barang, namun jangan salah pikir karena barang juga bisa hidup. Turun ke kapal bangkong kemudian menyeberang dan naik lagi ke dermaga. Tak ada kecurigaan kematian mesin akan melanda, namun yang terjadi ketika dinaiki lagi si motor buang terbiat atau mengalami kendala lagi. Sekitar 1 jam utak atik dengan 2 warga yang baik hati untuk membantu akhirnya menyalalah mesin motor. Kehidupannya untuk ditunggangi bak kuda kembali lagi. Lanjut...

500 meter berjalan tiba-tiba dipersimpangan empat Paloh, Sekura, Simpang Empat dan Dermaga penyakit motor kembali kambuh. Semua pengetahuan tentang motor walau sedikit dikeluarkan untuk menyalakan mesin yang mendadak mati. Tak ada yang membantu, seorang diri saya berkutat dengan motor. Satu jam, dua jam, waktu semakin berlalu meninggalkan pengharapan untuk tiba di Sebubus, Paloh. Akhirnya diputuskan menginap di teras ruko, itupun karena tawaran seorang Bapak yang mau berbagi kardus. Si Bapak adalah seorang yang seperti saya, kami sama kuli, bedanya ia mengurus sayur dan saya mengurus sesuatu yang tak dapat saya ungkapkan. Beruntunglah masih beralas kardus, karena jika beralas koran maka akan mudah sobek, karena saya adalah orang dengan tidur aktif (banyak gerak). Itu menurut sumber orang yang pernah tidur bersama saya, namun ketika saya cek kebenarannya tidak juga seperti itu.

Perjalanan berlanjut dalam mimpi, setengah 2 sayapun tertidur. Bukan setengah 2 = 1, namun 01.30 WIB / 02.30 WITA / 03.30 WIT atau sebutan keren lainnya 1.30 am. Jam 4 am tiba-tiba terbangun, suara riuh pasar subuh dengan sayur yang berlampar hingga di bawah kaki. Saya terbangun, terduduk, terlihat orang-orang sekeliling, kemudian tertidur lagi karena tak kuasa menahan beratnye kelopak mata yang selalu melorot kebawah. Jam 5 am terbangun lagi, suara riuh semakin mengusik tidur nikmat di atas kardus. Ternyata orang semakin ramai, sayapun tak tahan menahan malu dan akhirnya bangun. Sebenarnya tidak terlalu ramai yang melihat karena ada dinding teras setengah meter yang melindungi saya dari penglihatan para mereka yang berbelanja.

Setelah bangun, tak ada lagi yang bisa diperbuat selain menunggu teman yang akan datang dari Pontianak. Tak perlu saya sebutkan namanya, anggap saja Rahman (nama sebenarnya). Rahman datangpun belum juga bisa berbuat apa-apa selain menunggu bengkel motor buka jam 8 am. Ke bangkel, kemudian ngantri dan menunggu diperbaiki hingga akhirnya melanjutkan perjalanan ke Sebubus, Paloh. Selesailah sambungan cerita sebelumnya, maaf lama menunggu dan baru sempat, hahaha.

Sendirian, Kemalaman, Untung Tak Beralas Koran


Pengalaman jalan sendirian, kemalaman, hingga mengharuskan menginap belum tentu semua pernah merasa. Apalagi bayi yang masih selalu ditemani ibu atau ayahnya. Ini pengalaman yang sudah biasa saya alami. Menginap dirumah senior, teman, saudara, dan sudah biasa juga bagi pembaca. Namun mulai dari dulunya saya pernah menginap di bengkel Simpang Dua Ketapang, sekarang dapat pengalaman luar biasa lagi yaitu menginap di kaki lima pasar sayur di persimpangan empat menuju pasar Sekura, Jawai, Paloh, dan Pasar Sekura di Sambas. Wowlah ekspresinya.

Perjalanan dimulai dari Pontianak -Singkawang selama 4 jam dengan taxi yang berjalanan perlahan karena lalu lintas masih kategori padat versi supir. Saya juga menyaksikan sendiri tapi sebenarnya itu tidak juga, karena jarum spidometer mobil itu saya lihat hanya rata-rata mengarah ke angka 60. 18.30 WIB tiba di Singkawang bertemu teman pria karena sudah janjian untuk makan di Pasar Hongkong, siapa sangka di pertemuan itu ada orang ketiga. Teman juga sekampung namun terpisah oleh batas kabupaten. Ia juga pria, saya sangat menegaskan itu pria agar pacar saya tidak cemburu. Maklum saya hanya mampu pacaran saat ini yang sedang berjuang menghalalkan.

Kenyang, lanjut. 20.00 WIB berangkat menuju Sebubus, salah satu desa di Kecamatan Paloh yang jika anda kesana akan sakit pinggang karena jalan kategori jelek bagi saya untuk ukuran NKRI yang sudah lebih setengah abad merdeka. Kita belum sampai pada isi cerita, sengaja saya ulur karena hingga saat menulis tulisan ini juga belum sampai di Sebubus yang menjadi tujuan.

Ditengah gelapnya malam perjalanan, karena jika terang maka itu siang hari, mendadak motor mati. Padahal saya hanya berhenti untuk buang air kecil dan itu juga hanya berjarak 1 meter dari motor. Saya berjuang menghidupkan padahal saya tahu bahwa ciptaan manusia hanya barang mati dan itu sangat mustahil.

10 menit berlalu tak kunjung nyala mesinnya, ada 2 motor dan 1 mobil berlalu. Mereka tak menyapa saya untuk membantu, padahal saya sudah memberikan mereka peluang untuk membantu sesama. Saya lihat sekeliling dan terkejut menemukan sebuah bengkel tutup 25 meter kebelakang berseberangan dari posisi berhenti. Dalam hati "padahal baru jam 21.30 WIB dan orang masih lewat". Saya berusaha untuk berbagi rezeki jika pemilik bengkel mau digedor, motorpun saya dorong ke teras bengkel untuk mendapat pencahayaan agar tahu apa penyebabnya. Terus mencoba sendiri sebelum berteriak meminta bantuan dan akhirnya nyala, padahal tidak saya apa-apakan. Hanya pegang-pegang bagian bawah jok tempat menumpuknya kabel.

Lanjut nanti, teman saya sudah hampir tiba untuk membantu menyelesaikan masalah ini. Seperti yang saya katakan bahwa saya akan menyelesaikan tulisan ini ketika sudah tiba di Sebubus. to be continue...

Dimakan Zaman

Dimakan Zaman
Sebenarnya saya tak berniat menuliskan kisah ini, namun sepertinya hati ini tergelitik untuk menulisnya sehingga jadilah seperti yang anda baca. Seorang teman lama saat SMA yang kini kehidupannya sudah sukses dari segi pekerjaan dan kekayaan dibanding saya. Kami berbincang panjang dalam beberapa kali pertemuan terkait urusan bisnis liburan. Dia akan memakai jasa saya untuk berlibur di sebuah pulau bersama rekan-rekan sekantornya. Selain membicarakan liburan karena dia klien saya sedikit banyak layaknya teman hal pribadi juga kami bicarakan. Yang mengganjal dihati ini adalah kalimat “dimakan zaman” darinya. Tak ada maksud apa-apa, hanya disini saya sedikit tidak sepaham dengannya namun hanya bisa saya ungkapkan melalui rangkaian kata demi kata disini.

Memang dari dulu tepatnya awal kuliah hingga saat ini kehidupan saya masih sama saja. Kuliah belum selesai 8 tahun lamanya, belum lagi kesenangan saya terhadap aktivitas jalan-jalan keluar masuk hutan dari sekedar liburan hingga yang menghasilkan uang. Rutinitas itu memberikan keasikan tersendiri dalam diri saya, memberikan kebahagian hingga saya betah melakukannya. Hanya saja kuliah yang lama itulah kesalahannya yang membuat sahabat bersimpati dengan memberikan nasehat-nasehat seperti yang kami bicarakan. Sebenarnya bukan hanya dia, banyak teman-teman lain yang juga memberikan saya nasehat serupa. Balik lagi dengan hal yang menggelitik hati yaitu dimakan zaman, ternyata setelah saya pikir ada benarnya, namun bukan hanya untuk saya, tapi untuk kita semua bagi yang merasa.

Saya artikan kalimat itu bermakna manusia menjadi konsumsi zaman. Zaman adalah era dalam waktu. Zaman dibuat oleh manusia sendiri dari waktu yang disediakan oleh Allah SWT. Manusia dimakan oleh zaman. Dengan begitu ada pula manusia yang memakan zaman. Istilah ini tak begitu penting untuk dipikirkan, yang penting adalah maknanya. Dari apa yang disampaikan teman saya, pada intinya mengajak saya mengubah pola dan gaya hidup. Saya memang sedikit tidak biasa dari yang ada. Tak ada yang begitu saya pikirkan terkait kuliah, pekerjaan yang arahnya ke jenjang karir yang kemudian jadi penunjang jika berpindah pekerjaan. Saya menjalani hidup apa adanya, karena yakin sudah diatur oleh Allah SWT. Rezeki kita sudah ada masing-masing, tak mungkin tertukar, hanya saja yang membedakan adalah cara mencarinya. Kemudian kuliah atau tepatnya jenjang pendidikan, bagi saya itu juga takkan dibawa mati. Kuliah bukan sekedar untuk mendapatkan ijazah agar mudah mencari pekerjaan, namun yang paling penting adalah membuka wawasan. Memberikan kita cara memandang suatu hal dengan sudut pandang yang berbeda dari lainnya. Faktanya ada pula orang yang sukses tanpa gelar. Seperti teman saya yang bergelar dan memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan berkecukupan apakah bisa dikatakan tak termakan zaman? Atau mereka yang memakan zaman? 

Jika dibandingkan dengan apa yang saya lakukan teman saya lebih cenderung melakukan rutinitas. Bangun tidur, kemudian berangkat ke kantor untuk bekerja, istirhat makan, kerja lagi, ngumpul bersama teman, pulang, kemudian istirahat. Lain halnya dengan apa yang saya jalani, banyak hal baru yang saya temui dan penuh dengan perubahan. Setiap harinya tidak sama, kadang ada hari dimana saya hanya duduk memainkan laptop seharian, kadang pula saya bekerja ngecat, membersihkan gedung, kelaut dan kedarat membawa tamu berlibur, bertemu dengan beberapa pejabat membicarakan kegiatan dan banyak lagi lainnya dan itulah yang membuat saya asik dalam menjalaninya. Bukan berarti yang dijalani teman saya tidak mengasikkan. Sama-sama asik tinggal bagaimana cara menikmatinya. Setidaknya saya masih berani dan bisa bertahan di luar zona aman dan nyaman seklipun itu karena kondisi.


Ternyata hidup yang kita jalani ini siapapun anda, ada yang melihatnya kemudian menginginkannya, ada pula yang melihatnya kemudian mengasihaninya. Begitupula ketika kita melihat orang lain, padahal kita tidak tahu bahwa dibalik yang dijalani masing-masing orang yang kita lihat mereka menikmatinya dan bahagia menjalaninya. Jangan terlalu banyak mengasihani kehidupan seseorang, kasihanilah dulu kehidupan kita sendiri, semua sudah diatur. Dan yang paling penting, dunia ini hanya fana. 

Alur Hidup

Alur Hidup
Katanya “diam itu emas”,
katanya lagi “namun diam tak merubah apapun”,
katanya lagi “kecuali berlian”.

Ramai bisa terasa sepi,
banyak bisa terasa sedikit.

Harapan semakin banyak tak sesuai kenyataan,
bermimpi semakin asik dalam tidur.

“Jangan tambah namamu dalam daftar yang tak selesai” pesannya.
Banyak yang tak tahu dan tak paham pesan itu.
Liat nanti di Januari.

Mungkin terisolasi, terlalu terobsesi, terlalu berambisi.
Mungkin terlalu jauh, mungkin terlalu dekat, mungkin keterlaluan.


Tak terdengar karena tak ada yang mau mendengar.

Jalanmu untukmu
jalannya untuknya.

Ini aku, tak pernah mau seperti dia & mereka
tetap akan jadi aku.

Katanya "mundur itu pengkhianatan"
katanya lagi"hijrahlah demi kebaikan"
katanya lagi "kecuali diminta bertahan".

Bergerak terasa tetap ditempat,
berbuat terasa tak ada hasil.

Itu untuk pemacu, bisa pula untuk pemicu.
Tetap dialur.

RAIH

Karya: syh

Raih simpul mati syal pada lehermu,
lepaskan dan ikat dikepala
tegakkan pandangan setinggi-tingginya
lihatlah ...

takkan mampu keindahan-Nya terlukis dengan kata
pandang, pegang, pijak, pasang pengaman
rasakan sekelumit misteri-Nya

tak sedang berada diatas dua kaki, tapi juga dua tangan
erangan memacu semangat
getaran memberikan keberanian
tak cukup hidung, mulut membantu pernapasan paru-paru

sambutan kesunyian
cengkraman kematian
semakin tinggi
semakin mungkin

pengharapan menggapai ketinggian
memberi pengertian nilai dari semuanya

raih..

(2) ... TANJUNG DATUK

Perjalanan menuju Tanjung Datuk dimulai, waktu itu saya berkesempatan kesana ditemani teman-teman panitia Festival Pesisir Paloh (FESPA) pasca Acara 6 Juni 2015. Kami memulai perjalanan tidak dari pantai Teluk Atong, tidak ada nama untuk pantai ini yang pasti sebelum muara sungai tempat pangkalan kapal-kapal nelayan merapat. Dari sini butuh waktu 45 menit untuk tiba di Tanjung Datuk. Di Tanjung Datuk ada dua pilihan untuk merapat, di bagian Indonesia dengan pemandangan gerbang “Welcome Tanjung Datoe” di Pos Penjagaan TNI-AD atau di bagian wilayah yang diklaim negara Malaysia yaitu Pasir Perumput. Pilihan kami saat itu adalah Pasir Perumput. Disebut Pasir Perumput karena sepanjang pantai Tanjung Datuk sebagian besar adalah pantai bebatuan, hanya sedikit sekali pantai yang memiliki pasir untuk merapat. Uniknya di Pasir Perumput adalah adanya tumbuhan rumput laut melambai kedatangan dari dalam air, selain itu pantai pasirnya juga di tumbuhi rerumputan sehingga penamaan Pasir Perumput melekat.

Inilah Tanjung Datuk, Pasir Perumput adalah bagiannya. Setibanya di Pasir Perumput jika dipandang dengan jeli, ada sebuah patok segitiga besar yang terletak kokoh di atas batu. Menurut cerita yang saat itu turut serta bersama saya daerah ini masih abu-abu alias tidak jelas. Sangat miris mendengar batas yang tak jelas. Ia memaparkan “Patok inilah batas yang sebenarnya dari zaman penjajahan yang dibuat oleh Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, namun saat ini Malaysia sudah mengklaim ini Pasir Perumput miliknya dengan bangunan plang di atas bukit menuju mercusuar untuk mempertegas wilayah ini miliknya. Bagitupula pembangunan mercusuar di laut yang menghebohkan dunia saat Malaysia membangunnya dan kemudian di hancurkan oleh Indonesia. Mereka membangun berdasarkan Patok Baru yang di sepakati di tahun 1976 saat pemetaan Jangtop oleh TNI yang hingga kini dipakai, padahal pengecekan bersama saat itu adalah salah karena banyak patok baru yang dibangun dengan mengabaikan patok seperti yang ada di Pasir Perumput yang juga ada ditempat lainnya”. Cerita itu dapat diterima oleh nalar, karena dipertegas lagi oleh narasumber lain sebelum saya berangkat ke Tanjung Datuk yang juga sering menemani TNI dalam beberapa perjalanan “ketika menemani dalam pengambilan sampel cor beton, hasilnya beton di patok itu sesuai yaitu dibangun pada zaman penjajahan, lebih tua usia beton ini dibandingkan usia beton pada patok baru yang kini dipakai”. Kesimpulannya benar sekali patok tapal batas bergeser.

Dari Pasir Perumput kami menuju mercusuar milik dua negara serumpun, jalur trekking di bukit ini sudah jelas karena sering dikunjungi. Namun sayang pemandangan asri dirusak oleh beberapa sampah makanan dan minuman. Butuh waktu 30 menit untuk mencapai puncak Bukit di Tanjung Datuk yang terdapat mercusuar. Setibanya di atas bukit sambutan bangunan Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Distrik Naviasi Kelas III Pontianak menyambut. Bangunan megah ini berdiri kokoh di ujung negeri yang membuat saya bangga melihatnya dibandingkan dengan bangunan miliki Malaysia. Namun sayang tampak tak begitu terawat, rumput semak mulai menutupi lingkungannya, kemudian dinding bangunan yang usang oleh sarang laba-laba dan sampah yang berserakan menjadikan suasananya tak begitu enak dipandang. Kami disambut oleh tiga petugas Navigasi yang sedang berjaga, dengan santai suasana keakraban terjalin karena salah seorang dari kami sudah sangat sering berkunjung kemari membawa pengunjung dari kalangan wisatawan maupun militer. Sebenarnya jumlah mereka berempat, satu orang sedang turun ke Temajuk untuk berbelanja logistik. Salah satu petugas juga bercerita “sebenarnya yang harus berjaga di bangunan ini adalah tiga instansi yaitu TNI-AD, TNI-AL dan Navigasi, namun kenyataannya hanya kami yang selalu berjaga, mereka hanya sesekali datang”. Perbincangan berlanjut dengan patroli Tapal Batas yang dilakukan TNI-AD “mereka bertugas selama 6 bulan kemudian ditukar dengan petugas lain, selama tugas mereka hanya sekali dalam melakukan pengecekan tapal bata. Jadi pengecekan tapal batas hanya 6 bulan sekali” tegas teman saya yang sering memandu. Memang tidak objektif jika hanya mendengarkan cerita satu pihak, karena waktu yang mepet saya tidak sempat bertanya-tanya kepada TNI yang bertugas disana.

Belum puas sampai disini, banyak sekali sebenarnya yang bisa didatangi, seperti salah satunya Batu Bejulang yang juga menjadi daya tarik wisatawan dan melihat patok batas negeri lainnya dengan waktu tempuh trekking 30 menit. Namun sekali lagi karena waktu yang mepet perjalanan setengah hari berakhir disini. Membuang rasa penasaran mercusuar setinggi 50 meter dari permukaan tanah saya naiki untuk melihat bentuk dari Tanjung Datuk yang sering dilihat melalui peta. Sungguh pemandangan luar biasa. Tak ada ciptaan-Nya yang tak mengagumkan. Segala sudut pandangpun diabadikan dengan jepretan kamera. Walaupun belum puas menikmati pemandangan di Tanjung Datuk, panggilan makan siang bersama oleh ibu-ibu panitia yang ikut serta menemani tak dapat saya hiraukan. Kami makan bersama layaknya keluarga, salah satu yang membuat saya betah adalah keramah-tamahan penduduk Desa Temajuk. Pukul 16.00 masih dalam WIB kami harus pulang agar tak kemalamam tiba di Temajuk, sebuah hal yang menarik ketika berada di Tanjung Datuk adalah, sinyal Malaysia yang sangat membantu untuk komunikasi namun beban biaya yang digunakan sangat berat karena mengenakan tarif Internasional. Dalam benak sempat lewat kapan sinyal Indonesia dapat didapat ditempat ini?

Perjalanan turun lebih singkat daripada saat naik, 15 menit sudah tiba kembali di Pasir Perumput. Untuk terakhir kalinya mengabadikan momen di Patok Segitiga yang seharusnya sebelah barat patok itu milik Indonesia tak saya lewatkan sembari bertanya mengenai bekas cat yang menempel. Jika diperhatikan dengan nalar, salah satu ujung segitiga patok ini yang mengarah ke laut sebelah kiri adalah milik Indonesia dan sebelah kanan milik Malaysia. Rekan saya yang menemani menerangkan “bekas cat ini sudah lama, berwarna merah putih dengan tulisan di batunya NKRI harga mati. Namun cat ini dihapus oleh orang yang tak dikenal yang diduga adalah Malaysia karena mereka menganggap ini wilayahnya”. Pola Vandalisme dengan meninggalkan bekas cat di patok dan bebatuan alam tak akan memberikan ketegasan itu milik NKRI menurut kacamata saya, justru dengan itu mempermalukan kelakuan kita sebagai bangsa yang berdaulat. Solusinya bagi saya adalah dengan segera melakukan pembangunan seperti yang dilakukan Malaysia untuk mempertegas batas wilayah NKRI dimanapun itu. Jika ini tetap dibiarkan NKRI Harga Mati yang ditulis disana sini akan menjadi NKRI Kehilangan Harga Diri seperti kasus lepasnya pulau terluar yang kalah dalam pertarungan di Mahkamah Internasional karena Malaysia sudah lebih dulu mengelolanya. Sedikit lagi yang hampir terlewat Patok Segitiga seperti yang ada di Pasir Perumput ada lagi di bagian atas bukit Tanjung Datuk yang sudah dihancurkan menurut cerita teman saya yang sering memandu, jika diperhatikan dengan jeli di atas Patok Segitiga ada bekas baut, berarti ada lempengan keterangan yang sudah terlepas dan tak diketahui apa isinya. Semoga daerah abu-abu yang tak jelas ini segera jelas dengan warna pembangunan dari negera kepulauan NKRI yang kita banggakan.














belantang trip